Kumpulrejo - HNSI (Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia)

HNSI (Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia)

Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI) secara nasional resmi berdiri pada tanggal 21 mei 1973. Organisasi ini lahir dari pernyataan sikap secara bersama oleh enam organisasi nelayan sebelumnya, yakni; Organisasi Nelayan Golkar, Pungurus pusat SERNEMI, Pengurus Besar Serikat Nelayan Islam Indonesia, Gerakan Nelayan Marhein, Karyawan Nelayan Pancasila, dan Dewan Pimpinan Pusat GENSI. Sejak resmi berdiri, praktis tidak ada lagi organisasi nelayan selain HNSI.
Secara politis, orgnaisasi HNSI pada awalnya didorong atau lebih dikehendaki untuk melakukan proses dopolitisasi terhadap masyarakat nelayan yang sebelumnya terkotak-kotak dalam beberapa kelompok dengan orientasi kepentingan politik yang berbeda-beda. Setelah proses ini berhasil diprakarsai, dan HNSI terbentuk menjadi sebuah kekuatan yang menghimpun seluruh nelayan di Indonesia, ternyata dalam perjalanannya hanya menjadi instrumen politik bagi kepentingan rezim Orde Baru. Sehingga eksistensi HNSI yang diharapkan dapat mengartikulasikan kepentingan nelayan, mengambil prakarsa untuk mempengaruhi kebijaksanaan pemerintah agar mengakomodir hukum adat dan memberikan hak-hak ekslusif kepada nelayan selama itu tidak pernah tercapai.
Bagaimana HNSI bisa memperjuangkan hak-hak dan kepentingan nelayan, menghargai dan menjunjung tinggi profesionalis nelayan, independen dan jauh dari kepentingan politik, kalau pimpinan HNSI di tingkat pusat saja harus melalui penunjukan langsung dari pemerintah. Maka tidak salah kalau kemudian selama dalam perjalannya kurang lebih 20 tahun, HNSI tidak dapat berbuat banyak. untuk nelayan. Sebaliknya, HNSI yang notabene menghimpun seluruh kekuatan nelayan di seluruh Indonesia justru dimanfaatkan, dan menjadi budak kepentingan politik bagi rezim Orde Baru. HNSI dengan nelayannya penting mengakomodir dan mengsukseskan kepentingan politik rezim. Tetapi sebaliknya, aspirasi dan kepentingan social-ekonomi dan politik komunitas nelayan tidak penting diakomodasi dalam kebijakan publik. Salah satu indicator sederhana untuk mengukur ketidakberpihakan rezim terhadap nelayan waktu itu adalah, dengan ditetapkannya Undang-Undang Perikanan No. 9 Tahun 1985. Tidak ada satu pasal pun di dalam produk hukum ini yang membela kepentingan atau memperjuangkan hak-hak ekslusif nelayan. 
Terpinggirkannya nelayan dalam proses politik dan hukum terjadi karena sangat lemahnya posisi tawar nelayan kita di mata pemerintah. Pada tingkat politik nelayan merupakan aktor terlemah dalam relasi kekuasaan pengelolaan sumberdaya. Secara politik, nelayan tidak berdaya menghadapi industri yang merusak laut maupun menghadapi kekuatan luar, global, kapital dan negara. Dari aspek hukum lemah karena tidak ada perlindungan terhadap hak-hak komunal pesisir atau nelayan (hukum adat dan kearifan local dalam konsep pengelolaan SD pesisir dan lautan). Bagaimana posisi tawar nelayan tidak menjadi lemah, kalau produk hukum yangdilahirkan pun mereka (nelayan) tidak mendapatkan legitimasi.
Fenomena dan fakta tersebut di atas tentu bisa dipahami karena berkaitan erat dengan strategi dan kebijakan pemerintah masa lalu yang menganaktirikan sumberdaya pesisir dan lautan. Diperparah dengan konfigurasi kebijakan ekonomi bahwa sumberdaya perikanan laut adalah milik bersama (common property), sentralistik dan mengabaikan pluralisme hukum masyarakat. Kebijakan wilayah pesisir dan lautan yang didasarkan pada doktrin “common property” telah menyebabkan wilayah laut nasional menjadi arena pertarungan di bawah kekuasaan “hukum samudra,” siapa yang kuat akan keluar sebagai pemenangnya. Konsekuwensi logisnya, selain gagal memberikan perlindungan hukum bagi pelaku-pelaku utama dan sumberdaya alam, juga kerugian yang timbulkannya cukup besar baik secara ekonomi sumberdaya (overeksploitasi), ekologis (kerusakan ekosistim sumberdaya alam pesisir dan laut (perikanan)), maupun kemiskinan structural yang diderita oleh masyarakat pesisir-nelayan kita.
Sentralisme kebijakan dan antipluralisme hukum juga tidak kalah destruktifnya. Keduanya secara sinergis telah menciptakan konflik anatar pelaku sumberdaya wilayah pesisir dan lautan. Di mata nelayan tradisional, kebijakan tersebut lebih dipahami sebagai legalisasi persekongkolan pemerintah dengan pengusaha untuk menguras sumberdaya alam, tanpa memperdulikan kepentingan nelayan. Citra itu semakin terkukuhkan ketika aparat penegak hukum senantiasa muncul sebagai “pembela dan pelindung” pengusaha apabila terlibat konflik dengan nelayan. Dan HNSI yang sedianya menjadi jembatan berlabunya segala kepentingan nelayan untuk diperjuangkan, ternyata hanya menjadi pelengkap penderitaan nelayan.
Di atas kepentingan politik rezim orde baru, di tengah kebijakan pembangunan ekonomi yang menganaktirikan generasi pesisir dan sumberdaya yang dimilikinya, dan di bawah reruntuhan konfigurasi kebijakan wilayah pesisir dan laut yang menempatkan komunitas pesisir-nelayan pada rana kemiskinan, tertinggal, kumuh, dan compang-camping, ada harapan baru, ketika terjadi perubahan arus politik dan domokrasi di tanah air. Sebagai pelaku utama (stake kholders) di di wilayah ini (pesisir dan lauatn (perikanan)), nelayan pantas bersujud syukur atas tumbangnya rezim Orde Baru tersebut. mengapa? Karena kebijakan rezim inilah yang menyebabkan puluhan tahun anak-anak pesisir-nelayan di negeri ini menderita dan membiarkan dirinya tumbuh menjadi imperium daratan yang tak punya kapasitas berkuasa di laut. Padahal di dalam tubuh anak-anak negeri pesisir sejak dulu mengalir darah-darah kebaharian-kemaritiman.
Kepada siapa apresiasi dan penghargaan yang tinggi ini generasi anak pesisir-nelayan berikan? Sampai lahirnya wacana perubahan paradigma pembangunan dari kiblat inland oriented menjadi ocean oriented?. Apresiasi dan penghargaan yang tinggi itu tentunya sangat pantas kita berikan kepada sosok yang bernama KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Karena dari kepemimpinan beliaulah, telah memberikan kontribusi yang sangat besar dalam meletakan fondasi sejarah politik Kelauatan dan Perikanan (KP) di negeri ini, dengan mendirikan Departemen Kelauatan dan Perikanan (DKP) pada tahun 1999. Hal ini sungguh adalah merupakan hasil perjuangan panjang dari cita-cita masyarakat perikanan (HNSI) termasuk di dalamnya adalah para akedemisi, dan mahasiswa. Selain sebagai visi pribadi Gus Dur itu sendiri.
Reformasi adalah awal dari sebuah proses perubahan. Di mana perubahan ini hampir terjadi disegalah bidang kehidupan masyarakat, termasuk perubahan peta politik berdemokrasi di tanah air. Hal yang sama terjadi pada organisasi yang bernama HNSI itu. Mengapa? Karena pada era ini, HNSI baru, dan untuk pertama kalinya memperbaharui komitmen dan cita-citanya, serta meletakan dasar daripada tujuan perjuangan organisasinya. Puncaknya terjadi ketika MUNAS IV HNSI 2000 dilaksanakan. Dikatakan sejarah baru karena pada musyawarah nasional HNSI IV 2000 untuk pertama kalinya Anggaran Dasar dibuat dan disyahkan, serta untuk pertama kalinya Dewan Pimpinan Pusat (DPP) ditetapkan oleh Musyawarah Organisasi-organisasi/pembudidaya ikan di seluruh Indonesia (Pasal 25, ayat 1 dan 2 Anggaran Dasar (AD) HNSI). 
Sebagai wadah terhimpunnya seluruh kekuatan nelayan, HNSI secara normative sesuai dengan semangat Anggaran Dasar (pasal 5), bertujuan untuk memperjuangkan hak-hak dan kepentingan nelayan di seluruh Indonesia, yaitu mencapai kesejahteraan hidup yang layak dan adil jasmani dan rokhaniah bagi masyarakat nelayan/pembudidaya ikan khususnya dan rakyat Indonesia pada umumnya berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945. Dan untuk mencapai tujuan dimaksud, secara nasional HNSI akan terus melakukan usaha-usaha, sebagai berikut: 1. Mengadakan modernisasi perikanan dengan memberikan bimbingan dan tutunan kepada nelayan di bidang penangkapan, pengolahan, dan pemasaran, serta medorong terbentuknya koperasi yang bergerak di bidang perikanan; 2. Meningkatkan taraf hidup nelayan, baik jasmani maupun rokhani; 3. Meningktkan partisipasi nelayan dalam mempercepat tercapainya tujuan pembangunan nasional; 4. Mengadakan kerja sama dengan berbagai badan dan lembaga yang bergerak dalam bidang perikanan, baik dalam mapun luar negeri; 5. Mengusahakan terciptnya iklim kerja yang baik dan memperjuangkan adanya peraturan perundang-undangan yang memberikan jaminan dan perlindungan hukum bagi kepentingan nelayan, termasuk jaminan hari tua (Pasal 6 AD). Disamping berbagai rekomendasi kebijaksanaan HNSI sebagai masukan kepada pemerintah (DKP R.I) dalam rangka memajukan dan mensejahterakan nelayan/pembudidaya ikan diseluruh Indonesia.
Keberpihakan HNSI kepada nelayan tidak hanya sampai di situ. Melalui sidang MPO DPP HNSI pada tanggal 31 Mei - 2 Juni 2004 mendesak dan rekomendasi kembali bijaksanaan yang sudah pernah disampaikan sebagai masukan kepada pemerintah (DKP R.I). desakan atas rekomendasi HNSI yang sudah direalisasikan, diantaranya adalah:
1. Pelayanan untuk kebutuhan BBM nelayan yang terdiri dari solar, minyak tanah dan bensin hingga mencapai pulau-pulau terpencil dalam bentuk SPBN atau SPBU dengan kemudahan perijinan dari Pertamina. Lebih dari 100 SPBU telah di bangun dekat pelabuhan nelayan, dan telah dilaksanakan tersebar di 44 Kab/Kota di seluruh Indonesia termasuk Maluku Utara ( Halmahera Tengah, Halmahera Utara dan Kota Ternate) dengan harga yang ditetapkan oleh pemerintah (program ini dirintis sejak tahun 2003 melalui kerja sama DPP HNSI), DKP (Ditjen kelautan pesisir dan pulau-pulau kecil & Ditjen Perikanan Tangkap dan Pertamina.
2. Peningkatan asuransi nelayan (jaminan kesehatan, jaminan keselamatan, jaminan hari tua dalam bentuk asuransi Dana Kesejahteraan Nelayan), kapal ikan dan alat tangkap ikan. Untuk asuransi dalam bentuk Dana Kesejahteraan Nelayan ini sudah terdistribusi di 11 propinsi di Indonesia, termasuk tidak kurang dari 2500 nelayan di Maluku Utara yang sudah mendapatkannya. Dana kesejahteraan nelayan dalam bentuk asuransi ini ini adalah kerja sama HNSI, DKP dengan AJB BUMI PUTRA 1912, dan pemegang polisnya adalah Sekretaris Jenderal DPP HNSI.
3. Kemudahan persyaratan dan pelayanan permodalan untuk nelayan dan pembudidaya ikan dengan bunga yang terjangkau dan ditunjang dengan program kredit secara khusus melalui pembentukan lembaga keuangan mikro (lembaga non Bank). Belakangan kita kenal dengan Lembaga Swamitra Mina Online, Unit Simpan Pinjam (USP), BPR Pesisir, dan Baitul Qiradal. Ke-empat lembaga Keuangan Mikro ini di bawah Lembaga Ekonomi Pengembangan Pesisir Mikro Mitra Mina (LEPP-M3/Koperasi Perikanan).
4. Kapal ikan illegal dan kapal asing yang tertangkap di perairan kita ditenggelamkan dan jika kapalnya ditinggal lari disita oleh negara dan langsung diserahkan kepada nelayan sesuai kepres 174/1998.
5. Desakan HNSI untuk mengamandemen UU No. 22/1999 UU Perikanan. 6. Pengahapusan keputusan dirjen yang mengamandir kepres No. 39/1980 dan penghapusan utang nelayan (kasus nelayan di Pulau Jawa).
7. Mempertegas kembali akan keberadaan Departemen Kelautan dan Perikanan R.I. Keberadaan DKP R.I adalah sebuah keharusan. Dan masih banyak lagi rekomendasi kebijaksanaan HNSI yang sudah dilakanakan dan diprogram oleh pemerintah (DKP R.I), termasuk implementasi program kerja lima tahuan penguatan internal kelembagaan yang harus dilaksanakan oleh HNSI itu sendiri.
Dalam konteks Maluku Utara, keberdaan HNSI di daerah ini masih terbilang relatif baru. HNSI Maluku Utara baru secara efektif bekerja pada tahun 2004, sejak pengurus DPD HNSI dilantik pada 2002 dan terjadi revisi pengurus tahun 2003 setelah dianggap tidak aktif menjalankan roda organisasi. Karena baru, tugas awal DPD HNSI propinsi adalah membentuk DPC-DPC di Kab/Kota yang ada, dan pada tahun 2005-2006 secara kolektif seluruh DPC HNSI se-Maluku Utara telah terbentuk, dan pada awal tahun 2006 HNSI se-Maluku Utara untuk pertama kalinya telah melaksanakan RAKERDA I di Tobelo Kabupaten Halmahera Utara. Rapat Kerja (RAKERDA I) ini selain merekomendasikan beberapa hal penting menyangkut dengan isu-isu strategis peluang pengembangan nelayan dan sumberdaya kelautan dan perikanan di Propinsi Maluku Utara, HNSI-MU juga telah merancang berbagai program kerja untuk lima tahunannya.
Meskipun baru, dan secara kelembagaan keberadaan HNSI di Maluku Utara belum diketahui oleh sebagian masyarakat nelayan di Maluku Utara. Namun secara kolektif HNSI sudah melakukan banyak hal untuk nelayan di negeri ini. Satu hal harus dipahami mengapa HNSI belum dikenal secara luas oleh anggotanya dan belum berjalan secara efektif adalah karena selain kondisi geografis wilayah Maluku Utara terisolir dengan jumlah nelayan yang terdistribusi diberbagai pesisir pulau-pulau tersebut, juga karena terbentur dengan persoalan fasilitas sehingga untuk mensosialisasikan HNSI kepeda masyarakat nelayan diseluruh Maluku Utara butuh waktu, dana dan pengorbanan. Ini merupakan tugas pokok utama DPC Kabupaten Kota yang sudah terbentuk untuk segera melakukan sosialisasi dan membentuk rukun-rukun nelayan ditingkat Kelurahan/Desa sebagaimana yang telah diamantkan dalam AD/ART HNSI.
Satu hal yang pasti bahwa siapa pun yang berprofesi sebagai nelayan/pembudidaya ikan adalah anggota HNSI. Untuk itu, tidak perlu saling menyalahkan karena itu hanya akan terus melemahkan posisi tawar nelayan yang puluhan tahun terpinggirkan. Pengalaman buruk selama lebih dari 20 tahun yang diderita oleh anak-anak pesisir-nelayan di negeri ini mestinya menjadi guru terbaik buat nelayan dengan lembaga HNSInya untuk disudahi dengan terus berjuang dan terus belajar sambil memperbaharui komitmen. Mari, kita satukan visi dan presepsi sebagai masyarakat nelayan bahwa hanya dengan, dan dari lautlah kita bisa jaya. Dan hanya dengan oleh pemimpin (pemerintahan) yang cerdas, jujur dan amanah, serta visioner dan berkomitmen jelas dalam membangun Kelauatan dan perikanan di Maluku Utara, negeri ini akan makmur adil sejahtera. Tanpa itu, meminjam lirik lagunya Koes Ploes kita hanya tenggelam di “kolam susu” tetapi tidak menggemukan kita.
Sebagai wadah perhimpunan nelayan, HNSI sepakat dan berkomitmen bahwa sudah waktunya masyarakat nelayan diberi otoritas untuk mengola laut. Karena masyarakat nelayan punya modal social untuk itu. Olehnya, ini menjadi agenda terpenting, dan HNSI akan terus mendorong pemerintah dalam hal ini Departemen Keluatan & Perikanan (DKP) Pusat maupun Daerah) agar memberikan ruang fasilitas yang memadai (tehnologi yang tepat guna dan akses pasar yang terjangkau), peningkatan sumberdaya manusia nelayan, serta keberpihakan hukum agar nelayan menjadi aktor yang berdaya. Dan Undang-Undang Perikanan No. 31 Tahun 2004 yang baru telah memberikan legitimasi itu. Hal ini menjadi sangat penting dalam konteks ke-Indonesiaan dan lebih khususnya lagi di Maluku Utara, karena selain pertimbangan strategis sumberdaya kelauatan dan perikanan kita melimpah, juga karena kekuatan masyarakat nelayan dalam pengelolaan sumberdaya laut merupakan alternatif dari lemahnya kekuatan negara- daerah (pusat dan daerah) untuk mengurus laut yang begitu luas dan beragam karakter sumberdayanya.
Jika ruang di atas kita berikan, kapasitas sumberdaya manusia nelayan dan armada tangkapnya terus kita tingkatkan, sumberdaya kelauatan dan perikanan kita optimalkan pemanfaatan dan pengelolaannya maka nelayan kita pasti akan berdaya, kesejahteraannya akan tercapai. Dan jikalau ini sudah jalan dengan baik, sumberdaya perikanan yang ada di wilayah perairan territorial laut kita tidak lagi butuh kerja keras pengawasan TNI Angkatan Laut. Kasus Illegal fishing yang menjadi wacana yang melelahkan dengan sendirinya akan hilang. Karena kapasitas nelayan dan armada tangkapnya sudah mampu berbicara dan bersaing dengan armada kapal nelayan asing. Nelayan punya fungsi pengelolaan juga sekaligus memiliki fungsi pengawasan. Dengan demikan, kerugian negara lebih dari 30 terliyun rupiah yang hilang dari perairan laut kita setiap tahunnya oleh nelayan asing akan dapat diminimalisir. Dan jika eksistensi HNSI semata-mata dinilai dari ketentuan Anggaran Dasarnya (AD) maka jelas organisasi ini memiliki kepedulian yang relatif tinggi terhadap kepentingan-kepentingan nelayan. Tetapi tidak cukup dengan itu, karena untuk mengatualisasikan dan mengartikulasikan peran dan cita-cita luhurnya, serta dalam rangka mencapai tujuan tersebut, HNSI butuh sentuhan kearifan pemerintah. Terutama Departemen Kelautan & Perikanan (DKP) sebagai institusi yang melakoni bidang kelautan dan perikanan dapat membina kerja sama dan kemitraan yang lebih baik dengan HNSI sebagai wadah terhimpunnya seluruh stake kholders di sector tersebut, serta melibatkan organisasi nelayan ini dalam setiap program kerja pemerintah (DKP), sehingga upaya untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat pesisir-nelayan berbasis sumberdaya perikanan sebagaimana yang diamanatkan dalam (Pasal 5 AD (HNSI)), dan amanat cita-cita-tujuan pembangunan nasional dapat tercapai.

*

*


Dipost : 13 Mei 2020 | Dilihat : 11017

Share :